Menjelajahi Isu Negara Fatherless: Mengapa Indonesia Masuk Peringkat 3?

Menjelajahi Isu Negara Fatherless: Mengapa Indonesia Masuk Peringkat 3?
Menjelajahi Isu Negara Fatherless: Mengapa Indonesia Masuk Peringkat 3?

WARTAJATIM.co.id, 25 Mei 2023 – Indonesia, sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, menghadapi isu kompleks yang terkait dengan tingkat kehadiran ayah yang minim dalam keluarga atau dikenal dengan sebutan negara fatherless.

Peringkat Indonesia yang masuk ke dalam posisi ketiga dalam daftar negara fatherless menimbulkan pertanyaan mengapa fenomena ini terjadi dan apa dampaknya terhadap masyarakat terutama anak-anak Indonesia.

Menurut pakar Psikolog UGM, Diana Setiyawati, S.Psi., MHSc., Ph.D., Psikolog., yang diungkapkan dalam situs resmi UGM beberapa faktor dapat menjelaskan masalah negara fatherless di Indonesia.

Faktor Fatherless di Indonesia

Pertama, tingginya tingkat perceraian di Indonesia menjadi salah satu penyebab utama fenomena ini. Perceraian mengakibatkan pemisahan keluarga, sehingga ayah sering kali tidak tinggal bersama anak-anak mereka. Hal ini berdampak pada tingginya tingkat fatherless di Indonesia.

Selanjutnya, faktor migrasi pekerjaan juga menjadi faktor penting dalam masalah ini. Banyak ayah di Indonesia yang harus bekerja di luar negeri untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Mereka terpaksa meninggalkan keluarga mereka dalam jangka waktu yang lama, sehingga menyebabkan minimnya kehadiran ayah dalam kehidupan sehari-hari anak-anak.

Selain itu, adanya kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi faktor yang berkontribusi pada minimnya kehadiran ayah dalam keluarga. Dalam situasi yang tidak aman, ayah sering kali harus meninggalkan keluarga. Demi keselamatan mereka sendiri atau sebagai akibat dari proses hukum yang terkait dengan kekerasan tersebut.

Perubahan budaya dan peran gender juga turut mempengaruhi fenomena negara fatherless ini. Peran tradisional ayah sebagai tulang punggung keluarga mengalami pergeseran, di mana peran tersebut tidak lagi secara eksklusif dijalankan oleh ayah. Perubahan sosial dan budaya telah membuka peluang bagi peran perempuan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, sementara ayah sering kali tidak memiliki peran yang jelas.

Minimnya kehadiran ayah dalam keluarga berdampak signifikan pada perkembangan anak-anak. Dalam artikel “Psikolog UGM Beberkan Dampak Minimnya Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan,” diungkapkan bahwa minimnya keterlibatan ayah dapat mengganggu perkembangan sosial, emosional, dan prestasi akademik anak-anak. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain, mengelola emosi, dan mengembangkan identitas gender yang seimbang.

Solusi Negara Fatherless

Untuk mengatasi isu negara fatherless, beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:

Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat: Perlu adanya program pendidikan dan kampanye kesadaran yang melibatkan pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat untuk meningkatkan pemahaman tentang pentingnya peran ayah dalam keluarga. Edukasi ini dapat dilakukan melalui sekolah, komunitas, dan media massa. Sehingga mengubah persepsi dan membangun dukungan terhadap keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak.

Dukungan Psikososial: Anak-anak yang hidup tanpa kehadiran ayah membutuhkan dukungan psikososial yang kuat. Pemerintah dan lembaga terkait perlu menyediakan akses mudah ke layanan konseling, dukungan keluarga, dan program rehabilitasi bagi anak-anak yang membutuhkannya. Ini akan membantu mereka mengatasi dampak emosional dan sosial dari minimnya kehadiran ayah.

Perbaikan Sistem Hukum dan Peradilan: Penting untuk memperbaiki efektivitas sistem hukum dan peradilan terkait kasus perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga. Proses hukum yang adil, cepat, dan memprioritaskan kepentingan anak dapat membantu mencegah situasi di mana anak-anak kehilangan kehadiran ayah mereka.

Penguatan Peran Ayah dalam Pengasuhan: Perlunya mendorong penguatan peran ayah dalam pengasuhan anak melalui program dukungan keluarga dan pendidikan. Pemerintah dapat meluncurkan program-program yang memberikan pelatihan keterampilan. Tak hanya itu, bantuan keuangan dan pendampingan kepada ayah dalam menjalankan peran mereka sebagai orang tua yang aktif dan terlibat.

Kesetaraan Gender: Penting untuk terus mendorong kesetaraan gender dalam keluarga dan masyarakat secara luas. Dengan memperkuat peran ayah dan ibu sebagai orang tua yang setara dan saling mendukung, dapat diwujudkan lingkungan keluarga yang seimbang. Sekaligus memberikan perhatian yang memadai kepada anak-anak.

Kolaborasi antara Pemerintah, Masyarakat, dan Lembaga Terkait: Penanganan isu negara fatherless membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga terkait. Mereka perlu bekerja sama dalam merancang kebijakan, menyediakan sumber daya, dan melaksanakan program-program yang bertujuan untuk mengurangi tingkat negara fatherless di Indonesia.

Dalam mengatasi isu negara fatherless, kesadaran, pendidikan, dukungan psikososial, penguatan peran ayah, kesetaraan gender, dan kolaborasi adalah kunci untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi anak-anak Indonesia.

Dengan demikian, langkah-langkah konkret dan kerja sama dari berbagai pihak, Indonesia dapat mengatasi tantangan negara fatherless. Serta memberikan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

Exit mobile version