Rekam Jejak Taktik Good Cop Bad Cop dalam Sejarah Pemilu Indonesia

Rekam Jejak Taktik Good Cop Bad Cop dalam Sejarah Pemilu Indonesia.
Rekam Jejak Taktik Good Cop Bad Cop dalam Sejarah Pemilu Indonesia.

WARTAJATIM.co.id, 11 Mei 2023 – Good Cop Bad Cop merupakan taktik dalam dunia politik sudah lama diterapkan dalam sejarah pemilu pemerintahan Indonesia.

Taktik ini sering digunakan oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden atau partai politik untuk memenangkan suara pemilih.

 

Good Cop Bad Cop merupakan taktik yang melibatkan dua tokoh atau lebih dengan peran yang berbeda.

Salah satu tokoh berperan sebagai “polisi baik” (Good Cop) yang bersikap ramah, santun, dan menerima, sementara yang lainnya berperan sebagai “polisi buruk” (Bad Cop) yang bersikap tegas, keras, dan otoriter.

Taktik ini bertujuan untuk memanipulasi opini publik dan memperoleh keuntungan politik.

 



Salah satu contoh taktik Good Cop Bad Cop dalam sejarah pemilu Indonesia adalah pada Pilpres 2004. Pasangan calon Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi dikenal sebagai pasangan Good Cop Bad Cop.

Megawati sebagai “polisi baik” dengan sikap yang ramah dan santun, sementara Hasyim sebagai “polisi buruk” dengan sikap yang keras dan tegas.

Taktik ini berhasil memenangkan suara pemilih, dan pasangan ini akhirnya terpilih menjadi presiden dan wakil presiden.

 

Selain itu, taktik Good Cop Bad Cop juga sering diterapkan dalam pemilihan legislatif. Pada Pemilu 2014, Partai Gerindra menggunakan taktik ini dengan melibatkan Prabowo Subianto sebagai “polisi buruk” dan Sandiaga Uno sebagai “polisi baik”.

Taktik ini berhasil memperoleh dukungan dari sebagian besar pemilih, dan Partai Gerindra berhasil meraih suara terbanyak kedua setelah PDI Perjuangan.

 

Namun, taktik Good Cop Bad Cop juga memiliki dampak negatif. Taktik ini dapat memperkeruh situasi politik dan menimbulkan konflik di antara pasangan atau partai politik yang terlibat.

Baca Juga  Pendaki Terjebak di Gunung Marapi: 42 Orang Belum Dievakuasi, BKSDA Sumbar Bergerak Cepat

Selain itu, taktik ini juga dapat memperburuk kualitas debat politik yang seharusnya menjadi ajang diskusi ide dan visi misi antara calon atau partai politik.

 

Meskipun memiliki kelebihan dan kelemahan, taktik ini tetap menjadi salah satu strategi politik yang populer dalam sejarah pemilu Indonesia.

Taktik ini berhasil memenangkan suara pemilih dan memperkuat posisi politik pasangan atau partai politik yang terlibat.

Namun, taktik ini juga perlu digunakan dengan bijak dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi situasi politik yang lebih luas.

 

Di samping itu, taktik ini  sering kali dikritik oleh kalangan masyarakat karena dianggap kurang etis dan cenderung manipulatif.

Masyarakat juga menilai bahwa taktik ini dapat mengaburkan visi dan misi calon atau partai politik yang seharusnya disampaikan secara jelas, transparan, dan terbuka kepada publik.

 

Tidak hanya pada level nasional, taktik Good Cop Bad Cop juga sering diterapkan pada pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, pasangan calon Anies Baswedan dan Sandiaga Uno juga menggunakan taktik ini dengan Anies sebagai “polisi baik” dan Sandiaga sebagai “polisi buruk”.

Taktik ini berhasil memenangkan suara pemilih dan mengalahkan petahana Basuki Tjahaja Purnama.

 

Namun, pada Pilkada serentak 2020, KPU mengeluarkan aturan yang melarang penggunaan taktik politik tersebut dalam kampanye pasangan calon.

Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya kampanye negatif dan mengedepankan kampanye yang lebih positif serta berkualitas.

 

Dalam beberapa kasus, taktik ini juga dapat berdampak pada pasangan atau partai politik yang terlibat didalamnya.

Taktik ini sering kali menyebabkan perpecahan di antara pasangan atau partai politik, yang pada akhirnya berdampak pada kekuatan politik mereka. Oleh karena itu, taktik ini perlu digunakan dengan bijak dan strategis.

Baca Juga  Prakerja Gelombang 63 Tahun 2024 Segera Dibuka, Simak Cara Mudah Mendaftar dan Syaratnya

 

Sebagai kesimpulan, taktik ini merupakan taktik politik yang sudah lama diterapkan dalam sejarah pemilu Indonesia.

Meskipun memiliki kelebihan dan kelemahan, taktik ini tetap menjadi salah satu strategi politik yang populer dalam memenangkan suara pemilih.

Namun, taktik ini juga perlu digunakan dengan bijak dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi situasi politik yang lebih luas.