Undang-Undang Anti-LGBT Sah di Uganda, Menuai Perhatian Negara Lain

Ilustrasi pengesahan undang-undang anti LGBT di Uganda.
Ilustrasi pengesahan undang-undang anti LGBT di Uganda.

Wartajatim.co.id, 30 Mei 2023 – Undang-undang anti-lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) yang bisa menghukum mati para pelakunya telah ditandatangani oleh Presiden Uganda Yoweri Museveni.

Menurut laporan dari Reuters, undang-undang ini menetapkan hukuman mati bagi “pelanggar berantai” yang melawan hukum dan menularkan penyakit mematikan seperti HIV/AIDS melalui hubungan seksual sesama jenis.

Pemimpin yang mempromosikan homoseksualitas juga dapat dipenjara selama 20 tahun.

Homoseksualitas dianggap sebagai “penyimpangan” dari nilai-nilai “normal” di negara tersebut, menurut pernyataan Museveni. Anggota parlemen pun didorong olehnya untuk melawan tekanan “imperialis.”

Pencantuman hukuman mati bagi pelanggar aturan ini telah memicu amarah bagi sebagian dunia internasional. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa dalam regulasi Uganda sebelumnya hukuman maksimal 10 tahun penjara akan diberikan kepada pelaku yang dengan sengaja menularkan HIV.

Namun, hukuman tersebut tidak berlaku ketika status HIV pasangan seksual mereka diketahui oleh orang yang terinfeksi.

Sebaliknya, undang-undang baru tidak membedakan antara penularan yang disengaja dan yang tidak disengaja. Undang-undang ini juga tidak memiliki pengecualian berdasarkan kesadaran akan status HIV pasangan.

Meskipun demikian, versi amandemen ini menetapkan bahwa mengidentifikasi diri sebagai LGBT bukanlah bentuk kejahatan. UU baru ini juga merevisi aturan yang mewajibkan orang untuk melaporkan aktivitas homoseksual mereka menjadi hanya wajib melapor jika seorang anak terlibat.

Sejumlah rakyat Uganda, terutama kaum LGBT, merespons undang-undang baru ini dengan mengaku kecewa terhadap keputusan pemerintah. Lerato, seorang pembuat film Afrika Selatan, menyatakan bahwa keputusan ini adalah hal yang memalukan dan dapat disamakan dengan “apartheid”.

Pemerintah kulit putih di Afrika Selatan menerapkan apartheid, sebuah sistem pemisahan ras pada awal abad ke-20.

“Untuk mengurangi segala jenis manusia, terlepas dari seksualitas mereka, dihukum mati berdasarkan siapa yang mereka identifikasi dan bagaimana mereka memilih untuk menjalani hidup mereka adalah sesuatu yang sangat memalukan sebagai sebuah benua,” ujarnya.

Pengesahan ini juga dianggap oleh aktivis hak asasi manusia Uganda, Clare Byarugaba, sebagai bentuk pelegalan “homofobia dan transfobia yang disponsori negara.”

Langkah tersebut juga dinilai oleh Presiden Amerika Serikat Joe Biden sebagai “pelanggaran tragis” terhadap hak asasi manusia. Washington pun akan mengevaluasi implikasi undang-undang itu “pada semua aspek keterlibatan AS dengan Uganda.”

“Kami sedang mempertimbangkan langkah-langkah tambahan, termasuk penerapan sanksi dan pembatasan masuk ke Amerika Serikat terhadap siapa pun yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia serius atau korupsi,” tuturnya.

Kemarahan atas regulasi baru ini juga disampaikan oleh Kanada. Langkah ini disebut oleh Kanada sebagai sesuatu yang “menjijikkan, kejam, dan tidak adil.”

Terkejut dengan penandatanganan UU yang mereka anggap “diskriminatif”, Inggris dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mengaku terlibat.

Larangan terhadap hubungan sesama jenis sebenarnya telah diberlakukan di Uganda, serta lebih dari 30 negara Afrika lainnya. Uganda menerapkan larangan tersebut karena masih memegang teguh nilai-nilai agama.

Sikap anti-LGBT di Afrika memiliki akar pada era kolonial, termasuk pengaruh hukum pidana Inggris yang menargetkan pelaku sodomi. Walaupun begitu, pada tahun 1967, hubungan sesama jenis akhirnya dilegalkan di Inggris.

Exit mobile version