Ideologi Ibuisme: Meretas Norma Baru dalam Mencegah Kekerasan Seksual pada Perempuan dan Anak

Ideologi Ibuisme: Meretas Norma Baru Cegah Kekerasan Seksual.
Ideologi Ibuisme: Meretas Norma Baru Cegah Kekerasan Seksual.

WARATAJATIM.co.id, 22 Mei 2023 – Lagi lagi berita korban meninggal karena kekerasan seksual kembali terjadi di Indonesia.

Belum lama ini tengah menjadi berita hangat yaitu anak salah satu pejabat di Papua menjadi korban kekerasan seksual. Dilansir dari Tribun diduga pelaku melakukan kekerasan seksual hingga mengakibatkan kematian.

Tingginya angka kekerasan seksual pada perempuan dan anak menjadikan Indonesia sebagai negara darurat kekerasan seksual.

Di Jawa Timur sendiri, data yang tercatat dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI), tahun 2022 terdapat 164 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. Jumlah tersebut setara dengan 20,2 persen dari total 811 kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan.

Sementara itu, angka kekerasan seksual terhadap anak mencapai 602 kasus tahun 2022. Jumlah ini setara dengan 51,85 persen dari total 1.161 kasus kekerasan yang terjadi pada anak.

Jumlah kasus yang dilaporkan tidak selalu mencerminkan situasi sebenarnya di lapangan. Bahkan, masih banyak keluarga yang memilih untuk tidak melaporkan kasus kekerasan seksual terhadap anak karena menganggapnya sebagai masalah internal keluarga yang tidak perlu diketahui oleh orang lain.

Saat ini banyak akademisi dan peneliti bidang sosiologi yang berfokus pada kajian gender dan seksualitas. Salah satu ideologi yang tengah di kaji kali ini yaitu idologi ibuisme – sebuah ideologi kultural – yang dapat menjadi sebuah metode alternatif bagi pencegahan kekerasan seksual terhadap anak.

Dilansir dari Conversation, ideologi ibuisme yang dulu sebagai alat kontrol negara, kini bisa jadi alat kuasa perempuan untuk mencegah kekerasan seksual pada anak.

Ideologi Ibuisme dan Sejarahnya

Pada awalnya, ibuisme adalah sebuah ideologi yang mendukung perempuan dalam mengurus keluarga, kelompok, kelas, atau negaranya tanpa menuntut kekuasaan atau hak istimewa sebagai imbalan.

Baca Juga  Karya Terbaru Aldi Taher: Lagu Spesial untuk Lionel Messi dengan Lirik: Why You Don’t Come to Indonesia?

Konsep ibuisme ini diperkenalkan oleh Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis dalam tulisannya yang berjudul “Ibuisme and Priyayisation: Path to Power?” yang termuat dalam buku “Indonesia Women in Focus: Past and Present Notions”.

Ideologi ini menekankan pentingnya pendidikan tinggi bagi perempuan untuk mendukung suami dan perkembangan anak-anak mereka agar dapat hidup sejahtera. Selain itu, perempuan diharapkan mampu memberikan “penghasilan tambahan” guna memenuhi kebutuhan keluarga dan menjaga status sosial keluarga.

Pada masa Orde Baru, ideologi ibuisme menjadi bagian dari upaya negara dalam menciptakan stabilitas yang terstruktur. Contohnya adalah melalui organisasi Dharma Wanita Persatuan dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Meskipun perempuan diberikan ruang untuk eksis dalam organisasi ini, namun jika dianalisis lebih mendalam, perempuan hanya mendapatkan ruang tersebut karena mengikuti jabatan dan karier suaminya.

Aktivis gender dan penulis Julia Suryakusuma dalam bukunya yang berjudul “Ibuisme Negara” menyebutkan adanya konstruksi sosial tentang perempuan selama masa Orde Baru. Pada masa ini, konsep ibuisme selalu menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang tidak dapat eksis secara mandiri dan selalu terkait erat dengan keluarga, komunitas, negara, serta anak, suami, dan ayah.

Ibuisme negara menjadi sebuah ideologi gender dan seksualitas yang sering digunakan pemerintah Orde Baru sebagai bentuk kontrol sosial terhadap perempuan.

Ideologi ibuisme negara memasukkan peran perempuan ke dalam narasi pelayanan kepada suami, keluarga, kelompok, dan negara. Tujuan domestikasi perempuan ini sebenarnya adalah bentuk penjinakan, penghilangan peran politik, dan pemisahan perempuan.

Dari Alat Kontrol Negara Jadi Alat Kuasa Perempuan

Pada saat ini, ideologi ibuisme dapat berubah dari “kontrol sosial negara” seperti pada masa Orde Baru menjadi perspektif baru dalam pergerakan perempuan dan sebagai metode progresif untuk mencapai kesetaraan.

Terlebih lagi, dengan disahkannya UU Nomor 68 Tahun 1958 tentang Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Perempuan dan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

Salah satu contoh praktiknya adalah pembentukan aliansi kelompok perempuan di Indonesia yang berfokus pada visi jangka panjang untuk mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga merupakan bukti nyata bahwa gerakan progresif perempuan dapat menjadi alat kuasa perempuan yang memegang kendali di tingkat nasional.

Baca Juga  Terobosan Positif Pj. Wali Kota Malang: Program "Ngombe" untuk Mempererat Hubungan dengan Warga

Dengan tercapainya kesetaraan dan keadilan gender, penyebaran kasus kekerasan berbasis gender dapat dikurangi.

Dalam konteks kekerasan seksual terhadap anak, ibuisme dapat menjadi alat kuasa perempuan untuk melakukan pencegahan karena narasi ibuisme terkait dengan aspek afeksi perempuan dalam lingkungan keluarga.

Dilansir dari Magdalene, Meskipun dikaitkan dengan afeksi perempuan, konstruksi ibuisme seharusnya juga dapat diturunkan pada laki-laki.

Contohnya, di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, terdapat program Kelurahan Ramah Perempuan dan Anak yang melibatkan seluruh warga sebagai satuan tugas dalam mencegah kekerasan seksual terhadap anak.

Implementasi program desa/kelurahan ramah perempuan dan peduli anak (DRPPA) di Desa Kepundungan, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur juga merupakan contoh lainnya. Kader PKK di desa tersebut sebelumnya tidak aktif dalam musyawarah, tetapi sekarang semuanya proaktif menjadi agen sosialisasi dan pencegahan kasus kekerasan yang dialami perempuan dan anak di desa tersebut.

Gerakan SAPA (Sahabat Perempuan dan Anak) yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga merupakan langkah strategis untuk membangun modal sosial di masyarakat, sehingga terjadi perubahan sikap dan perilaku positif terhadap respons gender. Kader-kader SAPA ini adalah contoh nyata keberadaan narasi ibuisme, bahkan di masyarakat pedesaan.

Ketika pemerintah mampu mengorganisasi dan mendorong partisipasi aktif perempuan dalam politik dan ruang publik, mereka juga seharusnya dapat menjadi agen dan promotor pencegahan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia dengan mempengaruhi lembaga-lembaga terkait.

Hukuman Bagi Predator Anak tak Beri Efek Jera

Sejak tahun 2014, pihak yang bertanggung jawab dalam pembuatan kebijakan telah berupaya melakukan revisi terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak agar menjadi lebih komprehensif. Salah satu poin yang menjadi fokus utama adalah masalah kekerasan seksual terhadap anak.

Baca Juga  Kemudahan Akses Tes Bahasa Inggris: Englishvit Perkenalkan Platform Tes Online Inovatif!

Namun demikian, penggunaan ancaman pidana yang lebih berat ternyata belum memberikan efek jera yang memadai bagi para pelaku kekerasan.

Hingga saat ini, hanya sebagian kecil orang tua yang benar-benar menyadari pentingnya pendidikan seksual bagi anak-anak mereka. Sebagian besar dari mereka masih belum memahami bagaimana melaksanakan, bahkan memulai, pendidikan seksual untuk anak-anak mereka.

Padahal, berdasarkan laporan tahunan dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), pelaku kekerasan seksual terhadap anak sebagian besar berasal dari lingkungan terdekat, termasuk anggota keluarga. Hal ini berarti bahwa keluarga yang seharusnya menjadi sumber pendidikan utama justru menjadi tempat yang paling berbahaya bagi anak-anak.

Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang dapat mengembalikan peran lembaga keluarga sebagai landasan pendidikan masa depan anak-anak. Ideologi ibuisme yang memiliki keterkaitan dengan hubungan antara negara dan keluarga dapat menjadi harapan baru yang perlu dijajaki.

Ibuisme bukan hanya untuk Perempuan

Melalui pendekatan ibuisme, baik laki-laki maupun perempuan memiliki potensi menjadi agen perubahan dalam masyarakat untuk mencegah kekerasan seksual terhadap anak. Pendekatan ini melibatkan menyampaikan pesan-pesan pencegahan, memberikan pemahaman kepada anak-anak tentang hak-hak tubuh dan privasi mereka, serta menetapkan batasan dalam interaksi sosial dan hubungan personal.

Namun, untuk memanfaatkan sepenuhnya potensi pendekatan ini, diperlukan upaya meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya mencegah kekerasan seksual terhadap anak dan peran orang tua dalam mencegahnya.

Selain itu, kerjasama dan koordinasi antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah menjadi penting dalam pelaksanaan program-program pencegahan kekerasan seksual terhadap anak yang melibatkan pendekatan berbasis ibuisme.

Namun, perlu diingat bahwa ibuisme bukan satu-satunya solusi dalam upaya pencegahan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Dibutuhkan pendekatan yang holistik dan terpadu dari semua pihak untuk mencegah kekerasan seksual terhadap anak dan memperkuat perlindungan terhadap mereka, termasuk kesadaran masyarakat yang lebih tinggi dan regulasi yang lebih ketat.