Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, mengkritik rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Menurutnya, langkah ini menunjukkan kurangnya kreativitas dalam kebijakan perpajakan. Bhima berpendapat bahwa pemerintah seharusnya lebih fokus pada pengumpulan pajak dari kalangan kaya yang selama ini belum dioptimalkan.
Baca Juga Pemkab Tulungagung Raih Penghargaan Pajak dari KPP Pratama
Dalam penjelasannya pada Senin (30/12/2024), Bhima menyebutkan bahwa pemerintah berpotensi mengumpulkan hingga Rp 81,6 triliun melalui penarikan pajak kekayaan. Ia menilai bahwa pemerintah enggan melakukan upaya maksimal dalam menarik pajak dari wajib pajak berpendapatan tinggi, karena proses tersebut memerlukan pencocokan data dan penelusuran aset yang mungkin disembunyikan di luar negeri.
Bhima juga mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kenaikan PPN justru akan merugikan pemerintah. Ia mencatat bahwa meskipun PPN sebelumnya naik dari 10 persen menjadi 11 persen, rasio pajak yang diperoleh tidak mengalami peningkatan signifikan. “Pemerintah tidak mau repot untuk mengeluarkan kebijakan pajak kekayaan,” ujarnya.
Baca Juga Kolaborasi Unik Gebyar Sadar Pajak Ramaikan Malang Flower Carnival dengan Hadiah Mobil di Kayutangan
Ia menambahkan bahwa pengampunan pajak yang diberikan dalam dua jilid seharusnya tidak perlu diberlakukan lagi. Sebagai gantinya, pemerintah perlu memperbaiki kebijakan pajak yang ada dan menelusuri kepatuhan serta kesesuaian data aset dari program tax amnesty sebelumnya untuk dijadikan basis data pajak kekayaan.
Sebelumnya, rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025, telah menuai penolakan luas dari masyarakat. Penolakan ini terwujud dalam bentuk petisi di media sosial dan aksi demonstrasi. Banyak yang khawatir bahwa kebijakan ini akan memicu lonjakan harga barang dan jasa, serta mengubah pola konsumsi masyarakat secara negatif.