WartaJatim.co.id, 22 Mei 2023 – Jas Almet telah lama menjadi simbol eksklusivitas di kalangan mahasiswa.
Mahasiswa yang mengenakan jas ini sering kali dianggap sebagai bagian dari kelompok elit, yang memiliki akses dan hak istimewa yang tidak dimiliki oleh partisipan demo maupun mahasiswa lainnya.
Fenomena ini telah menjadi topik perdebatan yang hangat di lingkungan kampus, terutama dalam konteks aksi demonstrasi.
Aksi demonstrasi adalah salah satu wujud nyata dari perlawanan dan aspirasi para masyarakat dalam mengekspresikan pendapat mereka terkait isu-isu sosial, politik, ekonomi dan kritik terhadap pemerintah.
Namun, sering kali terdapat kecenderungan bahwa mahasiswa yang mengenakan jas Almet cenderung memiliki posisi yang lebih dominan dan mendapatkan perhatian yang lebih besar dalam aksi tersebut.
Hal ini menciptakan kesan bahwa jas Almet menjadi simbol eksklusivitas di tengah-tengah aksi mahasiswa.
Dalam konteks aksi demonstrasi, peran jas Almet semakin menonjol. Mahasiswa yang mengenakan jas ini sering kali menjadi pusat perhatian media dan masyarakat.
Tindakan mereka sering kali dianggap lebih berwibawa dan lebih berpengaruh dalam mengemukakan tuntutan dan pesan aksi.
Akibatnya, suara partisipan demonstrasi diluar mahasiswa ataupun mahasiswa lain yang tidak mengenakan jas Almet sering kali terpinggirkan dan kurang didengar.
Faktor lain yang memperkuat eksklusivitas jas Almet dalam aksi mahasiswa adalah adanya jarak antara mahasiswa yang mengenakan tersebut dengan partisipan demonstrasi diluar mahasiswa.
Kehadiran jas Almet bisa menciptakan kesan pemisahan antara kelompok mahasiswa yang elit dan kelompok mahasiswa yang lebih biasa.
Tentu saja hal ini dapat menghambat solidaritas dan kolaborasi di antara mahasiswa, yang seharusnya menjadi kekuatan utama dalam perjuangan bersama.
Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua mahasiswa yang mengenakannya memiliki niat atau motivasi untuk memperlihatkan superioritas.
Beberapa dari mereka mungkin hanya menggunakan karena alasan estetika atau kesesuaian dengan acara resmi.
Oleh karena itu, penting untuk tidak membuat generalisasi negatif terhadap semua mahasiswa yang mengenakannya, tetapi lebih pada pemahaman mendalam tentang dinamika sosial di balik fenomena ini.
Untuk mencapai kesetaraan dan inklusivitas yang sebenarnya dalam aksi demonstrasi mahasiswa, penting bagi seluruh komunitas akademik untuk secara aktif mencari cara untuk mengatasi eksklusivitas tersebut.
Diperlukan dialog terbuka dan pemahaman yang lebih baik antara mahasiswa, fakultas, dan pihak-pihak terkait untuk mengubah persepsi dan mempromosikan kesetaraan dalam lingkungan kampus.
Dalam kesimpulannya, jas Almet telah menjadi simbol eksklusivitas di kalangan mahasiswa dalam aksi demonstrasi.
Fenomena ini menciptakan kesenjangan dan ketidakpuasan di antara mahasiswa, serta menghambat solidaritas dan inklusivitas di kalangan komunitas akademik.
Untuk mencapai perubahan yang positif, perlu adanya upaya bersama untuk mengatasi eksklusivitas ini dan memastikan bahwa setiap suara rakyat dan partisipan demonstasi didengar dan dihargai, terlepas dari apakah mereka mengenakan jas Almet atau tidak.