WARTAJATIM.co.id, 2 Agustus 2023 – Baru-baru ini, akademisi dan pakar politik, Rocky Gerung, menjadi sorotan publik karena penggunaan kata ‘bajingan tolol’ yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam acara buruh di Kota Bekasi.
Kontroversi ini pun mengundang pertanyaan apakah ungkapan tersebut dapat memiliki makna positif dalam konteks politik.
Dalam klarifikasinya, Rocky Gerung menyatakan bahwa ‘bajingan tolol’ merupakan ungkapannya untuk mengkritik kebijakan presiden yang saat ini dijabat oleh Jokowi.
Dia menegaskan bahwa ungkapan tersebut bukanlah bentuk penghinaan pribadi terhadap Jokowi, melainkan merupakan kritik politik dalam forum perdebatan yang demokratis.
Rocky menambahkan bahwa jika ‘bajingan tolol’ dikaitkan dengan budaya timur yang mengedepankan norma kesopanan, ia justru merasa keberatan.
Baginya, dalam demokrasi, setiap warga negara memiliki hak untuk menyampaikan kritik dan pandangan politiknya tanpa harus dibatasi oleh norma-norma budaya.
Namun, apakah ungkapan seperti ‘bajingan tolol’ dapat memiliki makna positif dalam politik? Beberapa analis dan ahli bahasa berpendapat bahwa makna kata tersebut sebenarnya bersifat relatif dan konteksual.
Dalam bahasa Jawa, kata ‘bajingan’ dapat memiliki arti yang berbeda, seperti “bagusing jiwo angen-angening pangeran” yang berarti orang yang dicintai Tuhan.
Menurut para pendukung Rocky Gerung, penggunaan kata ‘bajingan’ dalam konteks politik dapat dianggap sebagai cara untuk menggambarkan ketidaksetujuan atau ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah.
Dalam banyak negara dengan budaya politik yang terbuka, istilah-istilah provokatif sering digunakan untuk menyuarakan kritik terhadap penguasa tanpa dianggap sebagai penghinaan pribadi.
Namun, di sisi lain, ada juga yang mengkritik penggunaan kata ‘bajingan’ tersebut, menyatakan bahwa bahasa yang kasar dan merendahkan tidak seharusnya digunakan dalam diskusi politik yang seharusnya diwarnai dengan etika dan kehormatan.
Beberapa menganggap bahwa menggunakan kata-kata yang merendahkan bisa mengaburkan substansi kritik politik dan mengganggu arus diskusi yang sehat.
Peristiwa ini juga memperkuat perdebatan tentang batasan kebebasan berbicara dalam konteks politik. Sebagai sebuah negara demokratis, Indonesia diatur oleh hukum dan norma-norma yang mengatur hak dan kewajiban warganya.
Oleh karena itu, perlu ada kesadaran dan pertimbangan terhadap dampak kata-kata yang digunakan dalam ekspresi pandangan politik.
Kasus Rocky Gerung memberikan tantangan bagi masyarakat untuk merenungkan makna dan implikasi penggunaan kata-kata provokatif dalam konteks politik.
Apakah ‘bajingan tolol’ benar-benar dapat dimaknai positif sebagai bentuk kritik politik yang sah, ataukah kita perlu lebih bijaksana dalam menggunakan bahasa yang lebih bermartabat dalam berdiskusi dan menyampaikan pandangan politik?
Pertanyaan ini menjadi panggilan bagi seluruh masyarakat untuk memperkuat budaya dialog dan menghormati perbedaan pendapat dalam suasana yang santun dan bermartabat.