Wartajatim.co.id, 16 Juni 2023 – Pada 17 Agustus 1945, Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dengan penuh pengakuan. Namun, menurut sejarawan Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, pengakuan tersebut masih memiliki sifat setengah-setengah karena hanya sebatas pengakuan moral dan politik tanpa adanya konsekuensi hukum.
Sebelum pengakuan ini, Belanda sebelumnya menganggap bahwa kemerdekaan RI baru terjadi pada 27 Desember 1949, ketika Belanda akhirnya menyerahkan kedaulatan Indonesia setelah melalui periode yang penuh dengan kekerasan, yang menyebabkan banyak korban pasca-proklamasi kemerdekaan RI pada tahun 1945.
“Dengan secara politis mengakui 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka, otomatis apa yang mereka lakukan pada 1945-1949 adalah agresi militer, upaya menyerang kedaulatan negara yang sudah merdeka. Konsekuensi dari serangan itu dituntut, minta ganti rugi atas semuanya,” ujar Sri, seperti yang dikutip dari BBC News Indonesia, Kamis (15/6).
Era ketika Indonesia masih berkonflik dengan Belanda yang berupaya merebut kembali Indonesia yang sudah memproklamasikan kemerdekaannya dirujuk olehnya.
Periode itu dikenal sebagai “Perang Kemerdekaan” dari kacamata Indonesia, sementara oleh Belanda disebut sebagai periode “bersiap” yang kemudian “telah terjadi kekerasan ekstrem” diakui oleh mereka berdasarkan penelitian yang dirilis pada Februari 2022.
Namun, menurut Sri, pernyataan Rutte dihadapan parlemen Belanda itu “tidak sepenuhnya berkomitmen terhadap konsekuensi dari pengakuan itu”.
Pada periode tersebut, apa yang terjadi tidak disetujui oleh Belanda sebagai “kejahatan perang”, melainkan sebagai “kekerasan ekstrem” yang masih dalam ranah “abu-abu” menurutnya.
“Pernyataan itu tidak berhenti di mengakui saja, tapi kondisional, mereka mengakui secara moral 17 Agustus 1945 sebagai kemerdekaan itu karena tidak terbantahkan atas basis penelitian yang sangat kuat. Tapi secara yuridis, tidak,” tutur Sri. “Artinya, secara yuridis mereka masih mengakui kemerdekaan itu adalah penyerahan kedaulatan pada Desember 1949 itu,” lanjutnya.
Konsekuensi hukum yang akan diterima Indonesia
Jika pun siap dengan konsekuensi hukum dari pernyataan tersebut, Sri menuturkan bahwa Indonesia juga harus siap dengan konsekuensi itu karena korban sipil jatuh dari kedua belah pihak.
Sri juga mengatakan “Pengakuan yuridis itu punya konsekuensi untuk menuntut ganti rugi atas korban sipil yang jatuh. Belanda pun bisa melakukan hal yang sama terhadap Indonesia, karena TNI juga melakukan kekerasan yang sama terhadap warga sipil Belanda.”
Dipendapatkannya, pada akhirnya Belanda berani mengakui secara politik karena merasa memiliki daya tawar untuk mendiskusikan konsekuensi itu berdasarkan temuan kekerasan yang juga dialami oleh warga negara mereka di Indonesia.
Diingatkannya juga agar Indonesia “tidak buru-buru” bersikap terhadap pengakuan tersebut.
“Itu peristiwa masa lampau semua, semua tindakan yang melanggar HAM semua sudah masa lalu. Jadi untuk bisa dibicarakan kembali, harus didasarkan pada penelitian historis yang kuat. Belanda sudah melakukan itu, dan ini menjadi tantangan bagi sejarawan di Indonesia,” ujarnya.
Meski demikian, dia menyebut bahwa secara moral, Indonesia seharusnya menerima pengakuan tersebut.
“Bagaimana pun itu adalah kemajuan bagi hubungan Indonesia-Belanda di masa depan. Akan lebih enak mengembangkan hubungan diplomasi, jadi harus diapresiasi. Sisanya, konsekuensi-konsekuensi itu harus dibicarakan secara diplomatik,” tambahnya.
Menurut Sri, pernyataan Rutte akan memiliki dampak yang lebih besar terhadap situasi di dalam negeri Belanda daripada di Indonesia.
Dia mengatakan bahwa pemerintah Belanda telah menghadapi tuntutan dari para intelektual terkait hasil riset yang “tidak dapat disangkal” bahwa terjadi “kekerasan ekstrem” selama periode 1945-1949.
Tuntutan moral generasi muda Belanda
Selain itu, ada juga tuntutan moral dari generasi muda yang merasa malu menyadari kenyataan bahwa negara mereka pernah menjadi penjajah.
“Pengakuan itu melegakan bagi generasi muda Belanda terkait masa lalu bangsanya,” ucap Sri.
Sebelumnya, pemerintah Belanda memberikan pengakuan resmi yang “sepenuhnya dan tanpa syarat” terhadap kemerdekaan Indonesia dari Belanda pada tanggal 17 Agustus 1945, hal ini menjadi pernyataan resmi pertama setelah 78 tahun oleh pemerintah Belanda.
Hal tersebut diungkapkan oleh Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, di parlemen, pada Rabu (14/06), saat pertanyaan anggota parlemen dari Partai GroenLinks terkait pengakuan terhadap kemerdekaan RI dijawab olehnya.
Berkonsultasi dengan Presiden Indonesia, Joko Widodo, untuk mencapai interpretasi bersama tentang hari kemerdekaan itu, adalah yang dijanjikan oleh Rutte.
Dikutip dari media Historia, PM Rutte mengungkapkan bahwa “Kami sepenuhnya sudah mengakui 17 Agustus zonder voorbehaud [tanpa keraguan]. Saya masih akan mencari jalan keluar bersama presiden [Indonesia, Joko Widodo] untuk mencari cara terbaik agar bisa diterima kedua pihak.”
Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dinyatakan oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno, setelah Jepang menyerah dalam Perang Dunia II. Namun, momen tersebut tidak pernah diakui secara resmi oleh pemerintah Kerajaan Belanda.
Antara tahun 1945 dan 1949, Belanda malah kembali memulai perang untuk merebut kembali kekuasaan di Indonesia.
Kilas balik di tahun 2005
Pada tahun 2005, disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Belanda saat itu, Ben Bot, bahwa secara “de facto” kemerdekaan Indonesia sudah dimulai pada tahun 1945, namun secara resmi Belanda masih menggunakan tanggal 27 Desember 1949, saat Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sebagai hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, mengemukakan pengakuan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 ketika hadir dalam perdebatan mengenai hasil penelitian dekolonisasi di parlemen Belanda.
Sebanyak 15 anggota parlemen, masing-masing mewakili partainya, mempersoalkan setidaknya tiga hal terkait penelitian yang berjudul “Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950”, yang hasilnya dipublikasikan oleh tiga lembaga Belanda medio Februari 2022 lalu. Penelitian tersebut menyebutkan adanya kekerasan ekstrem yang dilakukan oleh militer Belanda secara terstruktur.
Pertama, mereka mempertanyakan aspek hukum penelitian tersebut yang cenderung menggunakan istilah “kekerasan ekstrem” bukannya “kejahatan perang”.
Kedua, mereka menyoroti tanggung jawab dan permintaan maaf yang harus dilakukan oleh pemerintah terhadap para korban dan veteran Belanda sendiri.
Ketiga, mereka mempermasalahkan kompensasi dan rehabilitasi bagi para veteran perang yang dianggap sebagai penjahat perang.
Perdana Menteri Rutte, yang hadir bersama Menteri Luar Negeri Wopke Hoekstra dan Menteri Pertahanan Kajsa Ollorongren, memberikan pernyataan permintaan maaf atas terjadinya kekerasan ekstrem.
Meskipun demikian, Perdana Menteri Rutte masih bersikeras menyebutnya sebagai kekerasan ekstrem dan bukan kejahatan perang, dengan mengacu pada Konvensi Jenewa 1949.
“Masa kekerasan itu terjadi sebelum Konvensi Jenewa. Kesimpulannya kami tidak setuju itu kejahatan perang secara yuridis. Secara moral, ya, tapi tidak secara yuridis,” ucap Rutte secara tegas.
Rutte juga pernah menyampaikan permintaan maaf pada 17 Februari 2022 lalu.