Tahun 2025, Untung atau Buntung?

Puguh Wiji Pamungkas (dok.pribadi)
Puguh Wiji Pamungkas (dok.pribadi)
Banner 2

Oleh: Puguh Wiji Pamungkas

Presiden Nusantara Gilang Gemilang
Anggota DPRD Jawa Timur

Tanpa terasa, perjalanan panjang 365 hari sepanjang 2024 telah meninggalkan kita semua. Ritual demokrasi yang terjadi sepanjang 2024 mulai dari pemilihan umum legislatif, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan diakhiri pada November lalu dengan Pilkada serentak di 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.

Memasuki tahun 2025, tentu seluruh masyarakat Indonesia berharap ada transformasi dan pertumbuhan dalam dirinya, dalam keluarganya, dalam masyarakatnya, dan dalam konteks berbangsa dan bernegara. Di tengah dinamika global yang terus berubah akibat perang di beberapa negara yang tidak kunjung usai, serta tren ekonomi makro dan mikro yang nampaknya kurang bersahabat.

Peristiwa pailitnya Sritex, sebuah perusahaan tekstil terbesar di Asia, yang beberapa waktu lalu mengumumkan “pailitnya” dan ancaman PHK lebih dari 50.000 pegawainya, tentu menjadi salah satu potret betapa tantangan dunia ke depan memang tidak gampang.

Terlebih pasca pemerintah menetapkan rencana kenaikan PPN 12% dan kenaikan UMP 6,5%, semakin menantang dunia usaha untuk lebih tangguh dan adaptif dalam menghadapi perubahan yang terjadi.

Dalam sebuah rilisnya, Indonesia Industry Outlook 2025 Conference menyebutkan secara tegas bahwa ada fenomena kemampuan daya beli kelas menengah yang semakin menurun. Hal ini tentu akan berdampak pada sirkulasi ekonomi di dunia industri dan di masyarakat, karena tidak bisa dipungkiri “Aspiring middle class” dan “Middle Class” inilah yang menjadi salah satu penyumbang terbesar kegairahan perekonomian bangsa.

Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Inventur pada September 2024 lalu, menyajikan data mengenai beberapa hal yang menurut masyarakat di segmen “middle class” menjadi penyebab turunnya daya beli, di antaranya adalah: 85% menyebutkan karena kenaikan harga-harga kebutuhan pokok seperti makanan, energi, dan transportasi; 52% menyebutkan karena biaya pendidikan dan kesehatan yang semakin mahal; 45% menyebutkan karena pendapatan yang stagnan; 37% menyebutkan karena meningkatnya PHK dan lapangan kerja yang terbatas; 31% menyebutkan karena meningkatnya pajak; 27% menyebutkan karena utang yang semakin menumpuk; dan 23% menyebutkan karena kenaikan suku bunga cicilan.

Baca Juga  Jawa Timur Krisis Dokter Spesialis, DPRD Minta Pemprov Segera Atur Pemerataan

Tahun 2025 seolah menjadi akumulasi kompleksitas permasalahan sosial kemasyarakatan. Di satu sisi, ada fenomena tidak stabilnya dunia karena peperangan yang tidak kunjung usai, kebijakan pemerintah yang seolah tidak pro dengan dunia usaha, dan di sisi lain, kemampuan daya beli masyarakat juga semakin turun.

Visi pemerintahan yang baru untuk pertumbuhan ekonomi 8% tentu patut diapresiasi. Hasrat pemerintah untuk menghapuskan kemiskinan ekstrem di bangsa ini juga layak diacungi jempol, namun kemampuan ekonomi di tengah masyarakat juga semestinya menjadi perhitungan yang matang bagi pemerintah.

Lantas, tahun 2025 ini akan menjadi tahun untung atau buntung? Tentu ini menjadi pertanyaan yang fundamental bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Di tengah lesunya dunia usaha karena “overheat” beban operasional dan melemahnya daya beli masyarakat, langkah-langkah efisiensi tentu akan dilakukan oleh dunia industri. Proses efisiensi ini tentu salah satunya bisa jadi akan terjadi gelombang PHK yang semakin besar.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tentu juga menimbulkan masalah baru, karena secara definitif, pekerja yang terdampak PHK tersebut sudah memiliki beban “daily cost” dalam kehidupannya. Di satu sisi, ia harus mencari peruntungan baru untuk mendapatkan penghasilan, yang tentu hal tersebut bukan perkara yang gampang.

Untung atau buntung di tahun 2025 sebenarnya kembali pada tiga aspek mendasar sosio-ekonomi bangsa, yakni pemerintah sebagai pengampu kebijakan, dunia industri sebagai penggerak perekonomian, dan masyarakat sebagai drivernya.

Pemerintah mungkin perlu mengkaji kenaikan PPN 12%. Meski dalam keterangannya, kenaikan PPN tersebut tidak untuk semua bidang, namun mata rantai ekonomi itu saling terkait. Baru tersiar kabar PPN akan naik saja, seluruh komoditas sudah naik di pasaran. Selain itu, regulasi-regulasi pro-rakyat mungkin harus banyak diproduksi oleh pemerintah. 3.621,3 Triliun APBN 2025 tentu seyogyanya digunakan untuk berfokus pada mendukung dunia usaha dan ekonomi masyarakat secara luas, agar perputaran ekonomi di tengah masyarakat bisa tergerak.

Baca Juga  Presiden NGG Puguh Wiji Pamungkas Lantik Kepengurusan NGG Jawa Timur 2024, Berikut Nama-Namanya

Selain itu, regulasi pemerintah terkait dunia usaha seperti perizinan juga perlu dikuatkan dan dipermudah. Kemudahan akses perizinan, murahnya memulai usaha, dan adanya jaminan kepastian hukum bagi pelaku usaha bisa menjadi trigger awal bagi tumbuhnya iklim usaha di Indonesia.

Di tahun yang kurang bersahabat dan penuh tantangan, tentu dunia industri harus mampu beradaptasi dengan baik. Sekecil apapun peluang yang muncul harus dimanfaatkan dengan baik. Kuncinya ada pada kemampuan untuk membuka kesadaran diri, beradaptasi, dan berinovasi.

Bagi masyarakat, terutama “Aspiring middle class” dan “Middle Class”, kemampuan untuk menahan diri dan mengelola keuangan dengan baik menjadi kunci agar bisa tetap survive. Mengalokasikan pengeluaran untuk hal-hal yang urgent, menjaga performa kinerja di perusahaan dengan yang terbaik, serta mulai berupaya untuk mencari tambahan revenue penghasilan dalam keseharian menjadi sesuatu yang sangat penting. Mencari sebanyak-banyaknya sumber penghasilan dan pemasukan dengan skill dan kompetensi yang dimiliki mungkin perihal yang harus dilakukan.