Pada zaman bani israil, hiduplah seorang lelaki yang terjerumus dalam kesesatan. Kehidupannya dipenuhi kekerasan dan darah, hatinya ibarat batu yang dingin. Jumlah nyawa yang melayang di tangannya terhitung mencapai 99 jiwa.
Namun, di tengah kegelapan itu, secercah cahaya kesadaran mulai menyelinap. Lelaki itu dilanda penyesalan, hatinya teriris oleh dosa yang begitu besar. Ia terbakar keinginan untuk bertaubat, untuk menghisap bersih noda hitam di jiwanya.
Ia dilanda kegelisahan, ingin sekali terlepas dari belenggu dosa yang mencekiknya. Dengan tekad bulat, ia berniat mencari orang paling bijaksana di muka bumi, berharap mendapat petunjuk jalan kembali ke cahaya.
Setelah menempuh perjalanan panjang, sampailah ia pada seorang rahib yang dikenal luas akan kebijaksanaannya.Dengan penuh harap, lelaki itu menemui sang rahib
“Wahai rahib, aku telah membunuh 99 orang. Apakah masih ada kesempatan untukku bertaubat?”
Rahib yang diliputi oleh kesombongan dan keangkuhan itu menjawab dengan dingin
“Tidak! Dosa sebesar itu tidak mungkin diampuni. Tidak ada lagi harapan bagimu, neraka tempatmu berada.”
Mendengar jawaban itu, lelaki yang dipenuhi penyesalan tersebut putus asa. Ia diliputi kegelapan dan kebingungan. Dalam keputusasaan itu, ia membunuh sang rahib, menambah satu lagi nyawa dalam daftar hitamnya. Kini, genap 100 jiwa yang melayang di tangannya.
Namun, kegelapan hatinya itu belumlah tamat. Kehausan akan pertobatan masih membara dalam jiwanya. Ia kembali berpetualang, mencari sosok lain yang mungkin bisa memberinya setitik harapan. Akhirnya, ia sampai pada seorang ulama yang dikenal dengan kemuliaan hatinya dan kedekatannya dengan Allah.
Dengan langkah gontai dan hati yang remuk, ia menemui sang ulama dengan suara parau
“Wahai, Alim Ulama, aku telah membunuh 100 orang. Apakah masih ada kesempatan bagi makhluk penuh dosa sepertiku untuk bertaubat?”
Dengan wajah bersinar penuh cahaya, ulama tersebut berkata
“Wahai anak muda, sebesar apapun dosamu, sekalipun setinggi gunung dan seluas samudra, ampunan Allah jauh lebih besar. Selama tekadmu untuk bertaubat tulus, sungguh Allah Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat.”
Kalimat itu bagai embun penyejuk di padang gurun. Air mata penyesalan dan haru bercucuran di pipi lelaki itu. Hatinya yang gelap, perlahan disinari cahaya harapan. Ulama tersebut kemudian membimbingnya untuk hijrah, meninggalkan lingkungan tempat kegelapan menjerumuskannya, dan mengabdikan sisa hidupnya kepada Allah.
Dalam perjalanan hijrahnya, diterpa terik matahari dan dinginnya malam, maut menjemput lelaki itu. Malaikat Malik, sang penjaga neraka, dan Malaikat Ridwan, sang penjaga surga, datang bersamaan mendekati Izrail yang tengah bersiap-siap mencabut nyawa pria tersebut.
Baca Juga: Tak Hanya Sebagai Hiburan, Ini 5 Manfaat Membaca Novel
“Izrail, serahkan jiwa pembunuh ini. Aku akan segera menyeretnya ke neraka,” tegas Malaikat Malik.
“Tidak, Izrail, ia telah bertobat, hatinya dipenuhi penyesalan dan keinginan untuk menebus dosa-dosanya. Ia seorang hamba Allah yang tersesat, namun kembali menemukan jalannya.” sanggah Malaikat Ridwan dengan lembut
“Tetapi lihatlah, ia belum sempat berbuat baik sedikit pun, belum sempat menebus dosa-dosanya dengan kebaikan.” tukas Malaikat Malik
Perdebatan kedua malaikat itu membuat suasana hening sejenak. Izrail, meski tak dapat berkata, turut merasakan kebimbangan atas nasib lelaki tersebut. Ditengah kebimbangan tersebut, Allah SWT berfirman ” Wahai Izrail, ukurlah jarak antara pria ini dari tempat ia bermaksiat dengan tempat ia hijrah.”
Izrail pun mengulurkan tangannya, cahaya memancar dari jemarinya, menjembatani antara pria itu dan dua desa yang mewakilkan nasibnya. Perlahan, cahaya itu memudar, menampilkan hasil yang membuat Malaikat Malik terkesiap.
Meskipun belum sempat berbuat baik, lelaki tersebut ternyata lebih dekat dengan tempat ia berhijrah. Keinginannya untuk bertaubat, tulus dan sepenuh hati, telah mengubah arah jiwanya, menariknya menjauh dari jurang kegelapan.
Malaikat Ridwan mengulurkan tangannya, mengajak pria tersebut dengan lembut.
“Marilah, saudaraku, tempatmu kini bukan di neraka, tapi di surga. Di sana, kau akan diberi kesempatan untuk menebus dosa-dosamu dengan amal kebaikan, selamanya.”
Akhirnya, Allah SWT sendiri yang menentukan nasibnya. Dengan segala hikmah dan keadilan-Nya, Allah SWT menerima taubat lelaki tersebut dan menganugerahkan kepadanya tempat mulia di surga.
Begitulah cerita taubat seorang pendosa yang akhirnya mendapat pengampunan Allah. Kisah ini mengajarkan bahwa pintu taubat tidak pernah tertutup bagi siapapun, selagi niat tulus tertanam dalam hati. Sekelam apapun masa lalu, selalu ada kesempatan untuk kembali ke cahaya dan meraih kebahagiaan di akhirat.
Namun perlu diingat, kisah ini tidak dimaksudkan untuk membenarkan tindakan pembunuhan atau meminimalkan dampaknya. Ia semata-mata ingin menyampaikan keagungan kasih sayang Allah dan pentingnya taubat yang dibarengi dengan tindakan nyata untuk memperbaiki diri
Untuk Membaca berita seputar Jawa Timur, Anda bisa mengunjungi wartajatim.co.id